Memainkan trik dalam perjalanan dinas

SwaraBangsaOnline— Perjalanan dinas adalah sesuatu yang dinanti-nantikan oleh sebagian pekerja. Pasalnya, perjalanan dinas bisa menjadi momentum istirahat atau penyembuhan di sela-sela pekerjaan, apalagi jika lokasi dinas berlangsung di luar kota eksotik yang belum pernah dikunjungi.

Selain itu, perjalanan dinas tentunya akan memberikan nilai tambah ekonomi bagi para pekerja karena mereka mendapatkan honor bekerja di luar kota atau luar negeri. Pekerja bisa mendapatkan beberapa keuntungan. Pertama, dari segi biaya, perjalanan ditanggung oleh kantor. Kedua, dari sisi pendapatan, mendapatkan uang jajan.

Sayangnya, ada saja orang-orang dengan pola pikir koruptif yang memanfaatkan momentum ini untuk memperkaya diri. Nilai rupiahnya mungkin tidak terlalu bombastis, namun bisa dilakukan berulang kali. Bagi aparatur sipil negara, besar atau kecilnya jumlah biaya perjalanan dinas yang ditipu tetap disebut korupsi. Masih menjadi penyakit yang jika dibiarkan akan menjadi pembenaran.

Seperti temuan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK yang kembali menemukan kejanggalan belanja perjalanan dinas pegawai negeri sipil (PNS) sebesar Rp39,26 miliar pada tahun 2023. Jumlah tersebut didapat dari 46 kementerian dan lembaga atau K/L.

BPK pun dengan jelas mengkategorikan kejanggalan yang ditemukan. Mulai dari tidak adanya bukti pertanggungjawaban terjadi di 14 K/L senilai Rp14,7 miliar, ketidaksesuaian ketentuan belanja perjalanan dinas terjadi di 38 K/L senilai Rp19,6 miliar, perjalanan dinas fiktif terjadi di 2 K/L senilai Rp9,3 juta. , hingga permasalahan lainnya di 23 K/L senilai Rp 39,2 miliar.

Temuan perjalanan dinas fiktif terjadi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Temuan ini tentu memudahkan aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya. Hukum saja pejabat birokrasi nakal yang mau mempermainkan keuangan negara demi kepentingan pribadi.

Di sisi lain, temuan BPK juga ironis. Ini bukan kali pertama BPK menemukan kejanggalan dalam perjalanan dinas. Upaya mencuri uang perjalanan bisnis sepertinya terulang kembali dari zaman ke zaman. Badan pemeriksa negara bolak-balik mencari tahu permainan seputar perjalanan dinas tersebut.

Pelakunya juga bermacam-macam. Mulai dari jajaran birokrat karier, anggota legislatif, hingga mantan menteri. Caranya juga sebelas dan dua belas alias mirip, yakni membuat perjalanan dinas fiktif atau fiktif peserta perjalanan dinas. Jadi, entah kegiatannya atau pesertanya gaib, asal ada laporannya, semuanya baik-baik saja.

Secara sistematis, pelaku juga menyiapkan peralatan yang diperlukan. Baik itu nota dinas, surat tugas, kwitansi, nota pencairan perjalanan dinas, tiket transportasi, maupun tagihan pembayaran hotel.

Dalam berbagai kasus, permainan tersebut melibatkan beberapa orang dalam struktur birokrasi. Biasanya bawahanlah yang menyiapkan berbagai hal tersebut. Mereka seolah tak berdaya menghadapi keinginan atasannya. Bahkan, melanggar prinsip taat hukum. Para bawahan tampak berusaha menuruti keinginan dan arahan pemimpinnya meskipun mereka tahu bahwa mereka salah dan melanggar hukum.

Oleh karena itu, birokrasi kita belum beranjak dari sifat patrimonialnya yang mirip dengan lembaga masyarakat sipil. Hubungan mereka adalah antara gusti dan subyek. Jika korupsi terjadi pada jajaran atasan maka akan menjalar dan melibatkan bawahan. Dengan kata lain, korupsi merajalela.

Dalam menangani korupsi massal, masyarakat hanya menaruh harapan pada kerja aparat penegak hukum. Publik tak mempersoalkan apakah ditangani polisi, kejaksaan, atau KPK.

Nilai penyimpangan tersebut juga tidak boleh dibandingkan dengan anggaran perjalanan dinas. Jangan sampai hal itu terjadi karena nilai penyimpangannya terkesan kecil jika dilihat secara persentase. Sekecil apapun yang dialihkan adalah uang negara. Uang juga dikumpulkan dari masyarakat. Di negara yang bebas korupsi, tidak ada toleransi terhadap perilaku korupsi yang didasarkan pada jumlah uang negara yang dicuri.

Penegakan hukum juga tidak boleh hanya menunggu bola memantul. Kini, aparat hukum menjadi kuncinya. Apalagi temuan BPK diyakini hanya puncak gunung es. Masih banyak kejadian yang belum terungkap. Jangan hanya mengubah jargon birokrasi menjadi kata-kata yang bersih. Jadikan itu hidup dalam kenyataan.


 

error: Content is protected !!